Cilegon,- Matamedianews.co.id,- Angin pantai sore itu berembus pelan, membawa aroma khas batu bara yang terbakar dari kompleks Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya Unit 9-10. Bagi sebagian orang, itu adalah bau kemajuan. Namun bagi Awen Syarifudin, Ketua Karang Taruna Kelurahan Suralaya, itu adalah bau ketidakadilan.
Berdiri di tepi jalan berdebu, Awen menatap kompleks pembangkit raksasa itu dengan sorot mata penuh kekecewaan. “Dulu mereka bilang akan menyerap ribuan tenaga kerja lokal. Tapi kenyataannya? Lihat sendiri, pengangguran masih di mana-mana. Sekitar 70 persen pemuda di sini masih nganggur,” ujarnya, Selasa 18 Maret 2025.
Pernyataan Awen kontras dengan klaim yang disampaikan anggota DPRD Cilegon, yang menyebutkan bahwa PLTU Suralaya Unit 9-10 telah menyerap hingga 12.000 tenaga kerja lokal. Namun, di lapangan, realitas berbicara lain.
“Kami memang sempat bekerja saat masa konstruksi, itu pun setelah kami menekan perusahaan. Tapi sekarang, hanya segelintir yang bertahan,” lanjutnya.
PLTU Suralaya Unit 9-10, yang dikelola oleh PT Indo Raya Tenaga, telah menyelesaikan fase konstruksi dan siap beroperasi. Seharusnya, ini menjadi momentum bagi warga lokal untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih stabil. Namun, menurut Awen dan pemuda Suralaya lainnya, kesempatan itu lebih banyak diberikan kepada pekerja dari luar daerah.
“Polusi, suara bising, kami dapat semuanya. Tapi pekerjaan? Itu hak istimewa bagi orang-orang dari luar,” keluh Awen.
Ketika proyek ini pertama kali diumumkan, warga Suralaya membayangkan peluang kerja baru, stabilitas ekonomi, dan perbaikan kualitas hidup. Kampanye para politisi yang menjanjikan prioritas tenaga kerja lokal semakin membangkitkan harapan.
Namun, seiring waktu, harapan itu kian memudar. Alih-alih mendapatkan pekerjaan tetap, pemuda Suralaya justru merasa hanya dijadikan alat kampanye.
“Dulu para politisi datang, berjanji ini-itu, bilang tenaga kerja lokal akan diprioritaskan. Sekarang, mereka ke mana? Berani anggota Dewan adu data dengan kami?” tantang Awen.
Menurutnya, bahkan untuk posisi sederhana seperti operator atau office boy, warga lokal tetap sulit menembus lapangan kerja di PLTU. Padahal, jika ada kebijakan yang membuka peluang bagi pengusaha lokal untuk terlibat dalam rantai pasok proyek, tenaga kerja lokal bisa lebih banyak terserap.
Ironisnya, meski banyak pemuda Suralaya yang masih menganggur, mereka tetap harus menanggung dampak lingkungan dari keberadaan PLTU. Polusi udara, limbah, dan kebisingan mesin menjadi bagian dari keseharian mereka.
PLTU Suralaya Unit 9-10 kini berdiri megah, simbol kemajuan yang dingin dan tak berperasaan. Di luar gerbangnya, pemuda-pemuda lokal masih menunggu, bukan sekadar pekerjaan, tapi juga keadilan.