BPN Klaim Sudah Undang Ruswiati, Warga Bantah Tak Hadir dalam Klarifikasi Tanah Hilang

CILEGON,- matamedianews.co.id – Sengketa tanah milik Ruswiati di Lingkungan Curug Sekolahan, Kelurahan Bagendung, memasuki babak baru. Setelah kehilangan 104 meter persegi tanah tanpa penjelasan, kini Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Cilegon justru menuduh Ruswiati tidak kooperatif dan menutup berkas perkara.

 

Kepala Seksi Pengukuran BPN Cilegon, Rukhi, mengklaim pihaknya telah melakukan pemanggilan kepada kedua belah pihak terkait sengketa batas tanah antara Ruswiati dan seorang warga bernama Asari.

 

“Betul, Ibu Rusmiati punya tanah seluas 172 meter dan sudah bersertifikat milik nomor 3711 Bagendung atas nama Rusmiati, terbit tahun 2023. Setelah diukur, hasilnya diolah lalu kemudian batas bidang tanah yang ditunjukkan di lapangan ini berbeda dengan yang ada di sertifikat,” ujar Rukhi, Selasa (16/4).

Rukhi menjelaskan, Ruswiati dipanggil bersama Asari pada 14 Februari 2025 dan dijadwalkan bertemu di Kantor BPN tanggal 18 Februari 2025. Namun menurutnya, hanya Asari yang hadir.

 

“Jadi kami perlu klarifikasi bahwa BPN tidak benar bahwa tidak ada pemberitahuan ke Rusmiati, justru BPN sudah mengundang,” lanjutnya.

 

Tak berhenti di situ, pemanggilan kedua pun dilakukan pada 19 Maret 2025. Namun karena Ruswiati dianggap kembali mangkir, BPN pun menutup berkas. “Bila mana tidak hadir, berkas ini saya tutup, karena berkas harus selesai,” kata Rukhi.

 

Namun klaim itu dibantah langsung oleh Ruswiati. Ia mengaku hadir memenuhi panggilan tersebut, bahkan menyebut kehadiran pihak-pihak lain seperti notaris dan Asari. Yang mengejutkan, ia menyatakan bahwa dirinya tidak diberi ruang untuk berbicara dalam pertemuan tersebut.

 

“Saya hadir memenuhi panggilan BPN, di sana ada Pak Asari, BPN dan notaris. Tapi saya dibungkam di sana, tidak diberikan hak bicara,” ujar Ruswiati tegas.

 

Pernyataan ini menampar balik narasi yang dibangun BPN. Di tengah upaya mencari keadilan, warga justru diabaikan dalam forum resmi. Klarifikasi yang seharusnya menjadi wadah mediasi, malah berubah menjadi monolog sepihak.

 

Situasi ini mempertegas betapa lemahnya perlindungan negara terhadap hak tanah rakyat kecil. Alih-alih menyelesaikan konflik, lembaga yang seharusnya netral justru terkesan berat sebelah dan terburu-buru menutup perkara yang belum tuntas.

 

Pertanyaannya kini bukan lagi ke mana hilangnya tanah Ruswiati. Tapi sejauh apa BPN mau bertanggung jawab, dan sejauh mana rakyat bisa mempercayai institusi yang justru menolak mendengar suara mereka?

Related posts