Cilegon,- Matamedianews.co.id,- Pada tahun politik, pengumpulan fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) sering kali menjadi alat yang digunakan untuk tujuan yang tidak jelas, bahkan rawan disalahgunakan. Praktik ini kerap kali berujung pada tindakan politik uang atau money politics, di mana para pemilik KTP dijanjikan berbagai imbalan, mulai dari sembako hingga uang tunai. Fenomena ini menjadi kekhawatiran serius, terutama karena dapat memicu terbentuknya politisi yang tidak berintegritas.
Menurut Eka W. Dahlan, seorang advokat sekaligus Ketua Satgas Anti Politik Uang, pengumpulan fotokopi KTP yang dikaitkan dengan politik uang bisa merusak fondasi demokrasi kita. “Jika praktik ini terus berlanjut, maka demokrasi kita akan tercoreng, dan yang lebih mengkhawatirkan, kita akan melihat lahirnya politisi atau pemimpin busuk yang tidak menghargai hak dasar rakyat, yakni kedaulatan yang dititipkan kepada pemimpin mereka,” ujar Eka.
Eka menambahkan bahwa dampak dari praktik semacam ini sangat berbahaya bagi masa depan demokrasi. Dalam jangka panjang, akan semakin sulit menemukan pemimpin atau wakil rakyat yang benar-benar mampu mewakili aspirasi rakyat dengan tulus. “Akibatnya, kita akan kehilangan pemimpin yang benar-benar menjadi penyambung lidah rakyat. Demokrasi kita pun akan terancam,” tegasnya.
Ia pun menekankan pentingnya kesadaran masyarakat untuk tidak tergoda oleh iming-iming materi yang ditawarkan oleh calon-calon yang tidak memiliki program jelas. “Masyarakat harus pintar memilih. Jangan hanya tergiur oleh uang sesaat. Setelah terpilih, mereka mungkin tidak akan peduli lagi terhadap masyarakat yang memilihnya. Jangan biarkan uang menjadi faktor utama dalam menentukan pilihan politik,” jelas Eka. Menurutnya, masyarakat yang mudah terpengaruh oleh janji-janji material seringkali berasal dari kelompok ekonomi lemah, yang justru paling rentan terhadap eksploitasi politik uang.
Lebih lanjut, Eka juga menyampaikan kekhawatirannya mengenai pengumpulan fotokopi KTP yang dapat disalahgunakan untuk tujuan lain. Ia mengingatkan bahwa praktik ini sangat rentan terhadap penyalahgunaan data pribadi. “Masyarakat harus lebih cerdas dan berhati-hati. Fotokopi KTP bisa saja digunakan untuk hal-hal yang merugikan. Kita tidak tahu pasti untuk apa fotokopi itu dikumpulkan, apalagi jika pengumpulan ini dilakukan menjelang pemilu,” tambahnya.
Eka mengajak semua pihak, terutama para calon, untuk berkompetisi secara sehat dengan menjunjung tinggi etika dan moralitas. Ia berharap, penyelenggara pemilu bisa bersikap tegas dalam menindak pelanggaran politik uang. “Kita perlu memastikan bahwa calon-calon yang potensial, yang tidak mengandalkan uang, bisa terpilih. Mari kita lawan praktik pengumpulan KTP yang rentan terhadap politik uang. Demokrasi yang sehat hanya bisa tercipta jika semua pihak bersaing secara adil dan jujur,” tutupnya.
Ia juga kembali mengingatkan bahwa fotokopi KTP sangat rawan disalahgunakan. Oleh karena itu, masyarakat perlu lebih waspada, terutama saat ada pihak yang mengumpulkan fotokopi KTP dengan alasan yang tidak jelas. “Ini adalah masa-masa kritis menjelang hari pencoblosan. Jangan mudah memberikan fotokopi KTP, apalagi jika ada indikasi praktik politik uang. Masyarakat harus lebih bijak dalam menyikapi hal ini,” ungkap Eka.
Terkait sanksi yang akan dikenakan kepada pelaku politik uang, Eka menegaskan bahwa ada hukuman tegas bagi mereka yang terbukti melakukan praktik ini. “Pemberi dan penerima suap dapat dikenakan sanksi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, khususnya Pasal 187A,” terangnya.
Masyarakat harus tetap waspada dan berhati-hati terhadap segala bentuk penipuan politik yang mungkin terjadi di masa pemilu.
“Keputusan untuk memberikan fotokopi KTP harus dipikirkan dengan matang agar tidak menjadi korban penyalahgunaan data atau manipulasi politik uang,” pungkasnya.
Diketahui, sanksi terhadap praktik politik uang diatur secara jelas dalam Pasal 187A UU No. 10 Tahun 2016. Menurut pasal ini, setiap individu yang dengan sengaja melakukan tindakan melawan hukum dengan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan untuk mempengaruhi pemilih, akan dikenakan hukuman penjara minimal 36 bulan dan maksimal 72 bulan, serta denda antara Rp200.000.000 hingga Rp1.000.000.000. Selain itu, sanksi yang sama juga berlaku bagi pemilih yang menerima tawaran atau janji tersebut.